Cerpen "Kembali kepada Fitrah: Kisah Seorang Remaja Muslim dalam Menghadapi Tantangan Modern"
Kembali kepada Fitrah: Kisah Seorang Remaja Muslim dalam Menghadapi Tantangan Modern
Sara duduk di sudut perpustakaan sekolah, mengamati keramaian yang terjadi di sekitarnya. Gadis berusia enam belas tahun itu merasa sedikit terasing, terutama di tengah-tengah teman-teman sekelasnya yang lebih suka menghabiskan waktu dengan gosip dan perangai remaja modern lainnya.
Saat itu, Aisyah, sahabatnya sejak kecil, duduk di sebelahnya. "Ada yang mengganggumu, Sara?" tanya Aisyah.
Sara menggelengkan kepala. "Tidak, Ais. Aku hanya merasa agak aneh di sini, seperti tidak cocok."
"Apa yang kamu maksud?" tanya Aisyah, sambil menarik kursi agar berhadapan dengan Sara.
"Susah dijelaskan. Aku hanya merasa seperti aku berbeda dari yang lain. Mereka semua terlihat begitu terhubung dengan dunia luar, sementara aku merasa lebih dekat dengan nilai-nilai Islam kami," ujar Sara, raut wajahnya mencerminkan kegelisahan.
"Aku mengerti, Sara. Tapi kamu tahu, itu yang membuatmu istimewa. Kamu memiliki kekuatan untuk mempertahankan nilai-nilai kita di tengah-tengah godaan dan tantangan modern," kata Aisyah dengan penuh keyakinan.
Sara tersenyum. "Terima kasih, Ais. Aku perlu mendengar itu."
***
Beberapa hari kemudian, Sara mendapat tugas dari guru Bahasa Indonesia untuk menulis cerpen. Sara memutuskan untuk menulis tentang pengalaman dan perjuangannya sebagai seorang remaja Muslim di tengah arus modernitas yang begitu kuat.
****
Di sebuah kota kecil bernama Baitulmakmur, tinggallah seorang gadis remaja bernama Amina. Amina tumbuh dalam keluarga yang taat beragama, di mana nilai-nilai Islam diajarkan dengan penuh kasih sayang oleh kedua orangtuanya.
Suatu hari, di sekolahnya, Amina merasa tertarik pada gaya hidup teman-temannya yang lebih modern. Mereka berbicara tentang musik pop terbaru, pakaian modis, dan pergaulan bebas. Amina merasa tertarik, namun dalam hatinya, ada suara yang mengingatkannya pada ajaran agamanya.
"Amina, kamu tidak akan menemukan kebahagiaan sejati dalam hal-hal duniawi semata," kata suara itu, mengingatkan Amina pada nilai-nilai yang diajarkan oleh Islamnya.
Namun, godaan terus menghampiri Amina. Temannya, Nadia, mengajaknya ke sebuah pesta di rumah salah satu teman mereka. Amina merasa ragu, namun ingin merasakan kegembiraan yang selalu dibicarakan oleh teman-temannya.
"Ayo, Amina! Kita pasti akan memiliki waktu yang menyenangkan," rayu Nadia.
Amina menggigit bibirnya ragu-ragu. "Aku tidak yakin, Nadia. Aku khawatir itu tidak sesuai dengan nilai-nilai agamaku."
Nadia menggelengkan kepala. "Kamu terlalu kaku, Amina. Kamu harus belajar bersenang-senang dan menikmati hidup. Jangan biarkan agama menghalangi kita."
Meskipun ragu, Amina akhirnya mengikuti temannya ke pesta itu. Namun, begitu tiba di sana, dia merasa tidak nyaman. Musik keras, tarian yang tidak senonoh, dan suasana yang tidak bermoral membuat hatinya semakin gelisah.
Saat itulah, Amina mengingat kata-kata ayahnya, "Jika kamu merasa terpesona oleh dunia, kembalilah kepada agama kita. Di situlah kebahagiaan sejati akan kamu temukan."
Dengan hati yang berat, Amina meninggalkan pesta tersebut dan pulang ke rumah. Dia duduk di sudut kamarnya, menangis sejenak, namun juga merasa lega karena telah memilih untuk mengikuti hatinya dan kembali kepada agamanya.
***
Sara menutup laptopnya dengan perasaan puas setelah menyelesaikan cerpen tersebut. Dia merasa seperti telah menemukan cara untuk menyampaikan perjuangannya kepada dunia. Di balik kegalauan dan godaan yang dia hadapi, dia menemukan kekuatan untuk kembali kepada fitrahnya sebagai seorang Muslim. Dan dengan itu, dia merasa lebih kuat dalam menjalani kehidupan sebagai seorang remaja Muslim di era modern.
Komentar
Posting Komentar